INDONESIA TANPA SENI DAN BUDAYA LOKAL
=
NEGARA TANPA IDENTITAS
Pada era modern ini masyarakat Indonesia di sibukkan dengan suguhan –
suguhan hiburan ajang pencarian bakat. Mulai dari pencarian bakat – bakat yang
bergenre seni hingga bakat – bakat bergenre agama. Setiap ajang tersebut selalu
berhasil menarik perhatian pemirsa Indonesia. Saking tingginya antusias
masyarakat maka ajang pencarian bakat ini menjadi acara yang selalu diagendakan
setiap tahunnya. Bahkan setiap tahunnya selalu muncul acara pencarian bakat
baru dari genre yang berbeda maupun dari dari genre yang sama dikemas dalam
sistem yang berbeda. Dari segi manfaat, acara pencarian bakat ini memberikan ruang
dan kesempatan bagi masyarakat untuk mengasah bakat serta membantu menaikkan
rating dari stasiun TV penggagas acar tersebut.
Terlepas dari wacana
diatas, ada fenomena menarik yang bisa kita amati dari penyelenggaraan ajang
pencarian bakat tersebut. Fenemona ini adalah sedikitnya peserta ajang tersebut
yang memiliki bakat dibidang kesenian tradisional. Hampir semua bakat – bakat
yang mereka tampilkan adalah bakat – bakat kesenian modern yang notabene bukan
lahir dari kebudayaan lokal Indonesia. Misalkan saja ajang pencarian bakat
tarik suara yang ditayangkan di beberapa stasiun televisi, hampir kesemua
peserta menampilkan kemampuan tarik suara dengan genre musik yang bukan dari
genre musik lokal seperti keroncong misalnya namun musik – musik bergenre pop,
rock, blues dll. Materi lagunya pun hampir tidak pernah memuat lagu - lagu daerah, hanya terbatas lagu - lagu bertemakan cinta dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Pada ajang pencarian bakat lainnya yakni bakat tari atau dance
misalnya, hampir semua peserta menampilkan bakat – bakat dance modern seperti
hip – hop dance, street dance, break dance, robot dance, ballet dll yang
sejatinya bukan tarian lokal Indonesia seperti tarian jaipong salah satunya.
Fenemona tersebut bisa
disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah memang sedikit peserta yang
memiliki bakat – bakat seni lokal yang mendaftar pada ajang tersebut. Faktor
kedua terbatasnya ruang dan kesempatan yang disediakan oleh penyelenggara ajang
pencarian bakat bagi mereka yang memiliki bakat – bakat kesenian lokal. Kedua
faktor tersebut sangat memungkinkan untuk teraplikasikan. Namun kesimpulan yang
dapat dibaca oleh pemirsa masyarakat Indonesia yang pertama adalah mulai
menurunnya tingkat ketertarikan generasi – generasi muda bangsa ini akan
kesenian dan kebudayaan lokal Indonesia dan kesimpulan kedua adalah kesenian
dan kebudayaan lokal Indonesia sudah mulai tergantikan oleh kesenian dan
kebudayaan luar.
Kesimpulan kedua inilah
yang harus kita cermati bersama. Karena kita telah ketahui bersama bahwa
kesenian dan kebudayaan lokal negara ini merupakan karakter dan identitas utama
bangsa ini. Karakter dan identitas utama yang mampu membedakan Bangsa Indonesia
dengan bangsa – bangsa lain di dunia. Jika kesenian dan kebudayaan lokal negara
ini telah tergantikan oleh kesenian dan kebudayaan luar maka sama saja negara kita
adala negara tanpa identitas.
Apalah arti sebuah nama
(Indonesia) tanpa adanya karakter dan identitas negara. Negara tanpa adanya
karakter dan identitas negara adalah setara dengan negara jajahan. Karena
negara tersebut sejatinya terbelenggu tanpa mampu menampilkan jati dirinya.
Jadi seharusnya kita janganlah menjadi heran lagi jika pemerintah kita setengah
mati menerbitkan peraturan dan mengusulkan hak paten tentang kesenian
kebudayaan lokal bangsa ini namun tetap saja kesenian dan kebudayaan lokal
tersebut selalu berhasil dicaplok dan diakui sebagai kesenian dan kebudayaan
lokal negara lain. Karena masyarakat Indonesia yang seharusnya menjadi
pelindung dan pelestari utama kesenian dan kebudayaan tersebut malah melupakan
dan mengabaikan kesenian dan kebudayaan lokal bangsa ini.
Fenomena ini bukanlah
keselahan yang dilakukan perseorangan namun merupakan kesalahan pengrong –
rongan sistem yang harus kita tanggulangi bersama dari segala segi kehidupan
dan aspek kepentingan. Kita tidak bisa lagi bersikap masa bodoh dan cuek lagi
dengan fenomena ini. Kita harus saling berpangku tangan memperbaiki kesalahan
sistem ini. Mulai dari tatanan kehidupan terkecil yakni Keluarga.
No comments:
Post a Comment