Oleh Syakib
“Dan saudaraku Harun” Pinta Musa AS kepada Allah swt, saat beban kenabian ditaruh pada pundaknya, “maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”
Nabi Musa menyadari dirinya bukanlah seorang yang pandai berbicara. Sementara disisi yang lain Fir’aun, yang menjadi seterunya, memiliki segalanya. Harta berlimpah, kuasa tak tergoyah dan lidah yang pandai berdialektika.
Allah pun mengabulkannya. Musa dan Harun berjalan beriringan di jalan dakwah. Keduanya harus memimpin kaum yang sukar ditata serta seorang raja yang sangat besar kuasanya. Kehadiran Harun melengkapi Tongkat Musa, salah satu mukjizat lainnya. Hingga akhirnya mereka berhasil memuncaki perdebatan dan pertarungan.
Doa serupa juga pernah dipanjatkan oleh Rasulullah saw di awal-awal dakwahnya. Saat tekanan semakin berat dirasakan, dengan khusyu Rasulullah memanjat do’a, “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai; Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam”.
Keduanya merupakan orang yang kuat dari kaum Quraisy. Rasulullah yakin jika salah satu berhasil masuk Islam maka ini akan menjadi syiar yang bagus sekaligus akan semakin menguatkan dakwah. Maka Umar bin Khattab lah yang dipilih Allah untuk menemani Muhammad saw. Sejak itu, atas ijin Allah tentunya, dakwah Islam semakin terbuka dan tak terbendung.
Dua fragmen diatas memberi hikmah seorang pemimpin adalah orang yang mengerti dengan kekurangannya. Musa sadar ia bukanlah orang yang pandai bicara. Maka untuk menghadapi seorang fir’aun dibutuhkan orang yang juga hebat dalam dialektika. Begitu juga Muhammad saw, yang membutuhkan orang yang kuat untuk melengkapi kepingan puzzlenya.
Pemimpin bukanlah orang yang digdaya dan bisa menepuk dada seenaknya. Pemimpin juga bukan orang yang serba bisa lalu merasa dirinya sendiri bisa menaklukkan dunia. Sebaliknya pemimpin adalah orang yang menyadari ketidakbisaannya lalu memilih orang yang tepat untuk melengkapi dirinya.
Dari Rasulullah saw pula kita belajar tentang membaca karakter seseorang. Beliau pernah mendoakan Abdullah Ibnu Abbad, “Ya Allah, berilah ia kepahaman agama dan Al-Qur’an” kelak sejarah mencatat Abdullah Ibnu Abbas dikenal sebagai seorang ahli Hadis, ahli Tafsir, ahli Fikih. Ia menjadi tempat rujukan banyak orang bahkan para sahabat yang lebih tua darinya.
Doa pemimpin adalah doa tentang kebaikan. Maka Allah swt pernah menegur Musa saat ia berkata, “Ana a`lam al-qaum” (Aku orang paling pandai di negeri ini). Sepintas apa yang dikatakan oleh Musa dapat dianggap wajar terlebih yang dihadapinya saat itu adalah Fir’aun yang dikenal digdaya dan penuh kuasa. Namun, Allah swt memandang pernyataan Musa berlebihan. Musa lalu ditegur dan mendapat pembelajaran lewat seorang Nabi Khidir. Tidak cukup sampai disitu Allah swt pun meluruskan Nabi Musa dengan mengajarkan doa yang penuh kebaikan, “Rabbi zidni `ilman”(Ya Allah tambahkan kepadaku ilmu pengetahuan).
Begitulah, doa pemimpin adalah doa yang penuh kebaikan. Ia tidak mendahulukan ke-aku-an sebaliknya doa pemimpin adalah doa yang menggerakkan siapa yang dipimpinnya. Misinya adalah membawa kesuksesan kepada orang lain bukan dirinya.
Sebagaimana pesan yang disampaikan oleh KH. Ahmad Jameel beberapa waktu lalu, “Kesuksesan kita adalah bagaimana membuat jalan kesuksesan bagi orang lain”
sumber : https://daqu.sch.id/2018/01/doa-pemimpin/
No comments:
Post a Comment